Wanda baru satu bulan bekerja di bidang pemasaran sebuah perusahaan kosmetik. Bulan pertama ini ia bekerja dengan penuh semangat. Ia banyak memberikan masukan baru, ide-ide baru yang, menurut dia, akan membantu penjualan.
Ia datang paling pagi karena rumahnya jauh dari tempat kerja. Ia sangat bangga dengan pekerjaannya. Bila orang lain menanyakan di mana ia bekerja, ia menjawabnya dengan penuh semangat dan kebanggaan.
Anehnya, rekan-rekan kerjanya, Andi dan Tuti, yang sudah bekerja lebih lama menganggap remeh semangat Wanda ini. Mereka berkata: "Maklum, dia masih baru, sih." Mereka sudah bekerja dua belas tahun lebih dan ternyata semangat mereka sudah hampir hilang.
Mereka tidak lagi bekerja dengan menggebu-gebu. Tuti merasa ia tidak perlu terlalu bersemangat karena toh gajinya tidak akan menjadi dua kali lipat kalau ia rajin. Untuk apa bekerja mati-matian? Begitu pikirnya.
Lain lagi dengan Linda, ia sering mengajak Wanda berdiskusi. Wanda belajar banyak dari Linda, demikian juga sebaliknya. Mereka sering berlomba sendiri untuk menjual lebih banyak, padahal Linda sudah sebelas tahun bekerja. Bisa dibilang semangat mereka seimbang. Pada saat yang satu agak lemah, maka yang lain membantunya.
Memang ada orang-orang seperti Andi dan Tuti yang berpikir untuk apa bekerja keras kalau gajinya sama saja. Mau malas, mau rajin, tidak ada bedanya. Untuk apa bekerja rajin-rajin, begitu kata mereka.
Mereka tidak lagi memiliki tujuan dalam bekerja. Mereka melihat pekerjaan sebagai beban, bukan lagi suatu tantangan atau kegiatan yang menyenangkan. Bagi orang yang menganggap pekerjaan sebagai beban, biasanya ia akan merasa cepat lelah.
Pada waktu ia bangun tidur, ia sudah merasa lelah untuk berangkat bekerja. Begitu sampai di kantor ia otomatis ingin beristirahat karena merasa lelah. Maka, ia lalu baca koran, sarapan, atau melanjutkan tidur. Kemudian apa lagi? Mungkin ia akan menghabiskan waktu untuk menunggu jam pulang kantor yang terasa tak kunjung tiba.
Mereka menganggap bahwa perusahaan diuntungkan dan mereka dirugikan kalau mereka bekerja lebih rajin. Mereka lupa bahwa mereka sendirilah yang rugi kalau mereka tidak bersemangat.
Gerakan fisik pasti berkurang, belum lagi kemampuan otak yang dihambat karena dipaksa untuk pasif. Lagi pula, kinerja yang kurang baik bisa menyebabkan tertutupnya kemungkinan promosi ke jabatan yang lebih tinggi.
Ingat kisah Udin yang tadinya bekerja sebagai pembersih lift di sebuah gedung perkantoran, kemudian ada orang yang menawarkan pekerjaan sebagai office boy dengan gaji lebih tinggi. Mengapa ia yang ditawari pekerjaan? Mengapa bukan temannya yang lain?
Karena Udin tidak menganggap pekerjaannya sebagai beban. Pembersih lift yang lain tidak mempedulikan para pengguna lift, tapi Udin lain. Ia selalu membantu menekan tombol untuk membuka pintu lift, atau mengulurkan tangannya untuk menahan pintu lift tertutup pada saat ada orang yang ke luar atau masuk lift.
Seandainya ia dulu bekerja malas-malasan, atau kurang bersemangat karena gaji kecil, pasti dia akan kelihatan loyo dan tidak akan terpilih untuk ditawari pekerjaan lain. Lagi pula benarkah anggapan bahwa semangat akan menurun bila sudah lama bekerja? Justru sebaliknya, Linda membuktikan bahwa ia tetap bersemangat tinggi meskipun ia sudah lama bekerja. Ia menyenangi pekerjaannya. Ia menikmati hari-hari kerjanya.
Kesenangannya bekerja terpancar di wajahnya yang selalu bersemangat. Tingkah lakunya sigap, selalu bersedia membantu orang lain dan tidak pernah melakukan korupsi waktu selama di tempat kerja. Sama dengan Wanda, ia tidak pernah terlambat datang ke kantor.
Andi dan Tuti lupa bahwa keadaan hati yang loyo, sikap malas, rasa tidak puas dan hal-hal lain yang mereka rasakan, akan terpancar di wajah dan tingkah laku mereka sehari-hari. Kalau sudah begitu, tentu atasan dapat melihat dan merasakannya. Akhirnya siapa yang rugi? Tentu diri sendiri bukan? Nah, kalau semangat memang sudah berkurang, apa yang harus kita lakukan? Mudah sekali.
Pertama, cari kesenangan baru dalam pekerjaan. Misalnya Tuti malas mengetik proposal, nah ia bisa mulai dengan menetapkan target untuk membuat proposal lebih cepat.
Atau ia bisa mengubah proposalnya menjadi lebih menarik, lebih jelas, atau sekadar mencari-cari jenis huruf yang lebih sesuai. Ia akan menemukan keasyikan baru sehingga mendongkrak semangatnya.
Kedua, anggaplah hambatan sebagai tantangan yang harus dikalahkan. Hambatan dan tantangan adalah hal yang sama, yang berbeda hanya sudut pandangnya. Bila dianggap sebagai hambatan, maka langkah kita menjadi lebih berat.
Seperti orang berlomba lari, bila ia melihat batu-batuan sebagai hambatan, maka ia akan merasa berat. Tapi bila ia melihatnya sebagai tantangan, maka langkahnya malah lebih panjang, lompatannya akan lebih tinggi karena ia berfokus pada cara terbaik untuk mengatasinya. Di samping itu ia akan menemukan kesenangan baru.
Love your job! Enjoy!
thanks to jasridit for the article
0 comments:
Posting Komentar